12 April 2011

Sebenarnya kita ini mirip kerbau atau kerbau yang mirip kita?[Hanya sebagai bahan renungan untuk kita semua]




AlKisah,.Pagi yg cerah sekitar pukul 06.00.seperti biasa petani itU mengluarkan kerbau dari kndangnya untuk pergI membajak sawah. Dari pagi hingga siang mereka asyik bekrja sama mengaduk2 lumpur sawah
Pkul 11.30,.datang istri sang petani membawa makan siang suaminya nasi bakul,ikan asin,sambel dan lalapan.
Kemudian petani itu asyik makan dgn lahapnya sementara si kerbau sahabatnya istirahat tak jauh dari nya
Tepat pukul 12.00,terdngar suara sayup2 mengudara dari kejauhan si kerbau tidak mengrti dan bertanya pada juragannya itU. . ".Hhoaa. .(suara besar kerbau)

juragan,suara apa tuch??sayup2 enak skali??" "itU suara adzan" jawab juragan.

"adzan itU apa?"tanya kerbau "itu seruan memanggil org islam untk sh0lat." jawab petani "sh0lat itu apa??" TAnyanya lagi "Sh0lat itU menymbah ALLAH SWT,Tuhan pencipta alam,org islam mlaksanakannya 5X sehari.."jwb petani '0oh .."kata si krbau.

"AGAN,orang islam??" Tanyanya lagi, "iya islam"kata petani itu cuek.

"AGAN suka sholat??" tanya kerbau, sambil tersipu ia petani menjwaB "ooh.,tidak!" "sama dgn saya dong" kata si kerbau. Kemudian mereka meneruskan lagi kerja nya.

Jam 14.30,.mereka selesai, Ketika sedang beres2 terdngar lagi suara lantUnan orang dari kejauhan yg enak di dengar,tetapi kali ini suaranya lain,. "AGAN suara apa lg tuh?"tanya kerbau polos,,. "kok beda dengan yg tadi!..?kata kerbau. "ooh,kalau itu orang yg membaca alquran" jawab petani
"ALQURAN itU apa??" tanya kerbau. "Kitab suci dan petUnjuk hidup umat islam!" jawab petani. "apa AGAN suka membacanya?? Tanya kerbau. "Kebetulan tidak! ,mana sempat! siang ini kan kerja malam cape.." jawab petani "sama dong dengan saya" kata si kerbau lagi dengan kalem. kemudian mereka pun pulang.
Jam 18.30,sehabis magrib dari speaker msjid dkat rumah petani itu,.Terdngar suara orang berbicra panjang lebar.
kemudian si kerbau bertanya lg.

"agan,.kalau itu suara apa??" tanya kerbau. "Oh itu pengajian di msjid" jwb petani "pengajian itU apa??" tanya kerbau lagi. "oh itu orang2 yg sedang mendalami agama" jawab petani "bagus yach gan??" celoteh kerbau. "iya bagus,"jwb petani singkat "agan suka dtang ke pngajian??" tanya kerbau. "kebetulan tidak,kan setiap hari sibuk brkrja" jawab petani "Seperti tadi dong agan sama dgn saya" kata kerbau.
Esok harinya saat si petani lahap makan siang karena lapar,si kerbau membuka perckapan lagi..
"Agan!"katanya, "apa?" jwb petani
"walaupun binatang saya juga ciptaan tuhan rasanya saya ingin juga mengenal tuhan yg telah memberi saya jatah hidup,nafas tenaga&makan,TAPI apalah artinya saya,,saya hanya seekor kerbau. rasanya ingin saya menyembah NYA,berterima kasih kpadaNYA BeribAdah seperti orang2 dimsjid itU,tapi mana sempat,saya kerja terus setiap hari waktu habis untuk kerja tidak ada wktu untuk mendekati tuhan untuk beribdah kepada NYA" kata kerbau panjang.
Merasa ada yg membenarkan kesibukan nya.si petani buru2 menjawab..
"SAMA DENGAN SAYA" kata petani
si kerbau pun termenung..
"`emmmhh,,ternyata banyak manusia seperti saya, wujudnya saja manusia tetapi hakekatnya kerbau.. Tak ada bedanya seperti binatang wktu nya habis hanya untuk kerja mencari makan & uang. Kesibukan hanyalah alasan untuk melupakan tuhan.banyak manusia memang tak tahu diri sudah mulia jadi manusia. ,. . .eeh..kesadaran nya tidak lebih dari kerbau. The end.
(PERTANYAAN SEDERHANA,APAKAH KITA SEPERTI KERBAU SELAMA INI??)



PEMBATAL-PEMBATAL WUDHU~(fiqih)



Berikut adalah beberapa pembatal wudhu berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Pembatal pertama: Kencing, buang air besar, dan kentut
Dalil bahwa kencing dan buang air besar merupakan pembatal wudhu dapat dilihat pada firman Allah Ta’ala,
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ 
Atau kembali dari tempat buang air (kakus).”[1] Yang dimaksud dengan al ghoith dalam ayat ini secara bahasa bermakna tanah yang rendah yang luas.[2] Al ghoith juga adalah kata kiasan (majaz) untuk tempat buang air (kakus) dan lebih sering digunakan untuk makna majaz ini.[3]
Para ulama sepakat bahwa wudhu menjadi batal jika keluar kencing dan buang air besar dari jalan depan atau pun belakang.[4]
Sedangkan dalil bahwa kentut (baik dengan bersuara atau pun tidak) membatalkan wudhu adalah hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ » . قَالَ رَجُلٌ مِنْ حَضْرَمَوْتَ مَا الْحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ 
Shalat seseorang yang berhadats tidak akan diterima sampai ia berwudhu.” Lalu ada orang dari Hadhromaut mengatakan, “Apa yang dimaksud hadats, wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah pun menjawab,
فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ 
Di antaranya adalah kentut tanpa suara atau kentut dengan suara.”[5] Para ulama pun sepakat bahwa kentut termasuk pembatal wudhu.[6]
Pembatal kedua: Keluarnya mani, wadi, dan madzi
Apa yang dimaksud maniwadi dan madzi?
Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.
Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi.[7]
Madzi dan wadi najis. Sedangkan mani -menurut pendapat yang lebih kuat- termasuk zat yang suci. Cara mensucikan pakaian yang terkena madzi dan wadi adalah dengan cara diperciki. Sedangkan mani cukup dengan dikerik.
Jika keluar mani, maka seseorang diwajibkan untuk mandi. Mani bisa membatalkan wudhu berdasarkan kesepakatan para ulama dan segala sesuatu yang menyebabkan mandi termasuk pembatal wudhu.[8]
Madzi bisa membatalkan wudhu berdasarkan hadits tentang cerita ‘Ali bin Abi Tholib. ‘Ali mengatakan,
كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِى أَنْ أَسْأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ « يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ ».
“Aku termausk orang yang sering keluar madzi. Namun aku malu menanyakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallm dikarenakan kedudukan anaknya (Fatimah) di sisiku. Lalu aku pun memerintahkan pada Al Miqdad bin Al Aswad untuk bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau memberikan jawaban pada Al Miqdad, “Cucilah kemaluannya kemudian suruh ia berwudhu”.”[9]
Sedangkan wadi semisal dengan madzi sehingga perlakuannya sama dengan madzi.
Ibnu ‘Abbas mengatakan,
الْمَنِىُّ وَالْمَذْىُ وَالْوَدْىُ ، أَمَّا الْمَنِىُّ فَهُوَ الَّذِى مِنْهُ الْغُسْلُ ، وَأَمَّا الْوَدْىُ وَالْمَذْىُ فَقَالَ : اغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْ مَذَاكِيرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلاَةِ. 
“Mengenai mani, madzi dan wadi; adapun mani, maka diharuskan untuk mandi. Sedangkan wadi dan madzi, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Cucilah kemaluanmu, lantas berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk shalat.”[10]
Pembatal ketiga: Tidur Lelap (Dalam Keadaan Tidak Sadar)
Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur lelap yang tidak lagi dalam keadaan sadar. Maksudnya, ia tidak lagi mendengar suara, atau tidak merasakan lagi sesuatu jatuh dari tangannya, atau tidak merasakan air liur yang menetes. Tidur seperti inilah yang membatalkan wudhu, baik tidurnya dalam keadaan berdiri, berbaring, ruku’ atau sujud. Karena tidur semacam ini yang dianggap mazhonnatu lil hadats, yaitu kemungkinan muncul hadats.
Sedangkan tidur yang hanya sesaat yang dalam keadaan kantuk, masih sadar dan masih merasakan merasakan apa-apa, maka tidur semacam ini tidak membatalkan wudhu. Inilah pendapat yang bisa menggabungkan dalil-dalil yang ada.
Di antara dalil hal ini adalah hadits dari Anas bin Malik,
أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ وَالنَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يُنَاجِى رَجُلاً فَلَمْ يَزَلْ يُنَاجِيهِ حَتَّى نَامَ أَصْحَابُهُ ثُمَّ جَاءَ فَصَلَّى بِهِمْ. 
“Ketika shalat hendak ditegakkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbisik-bisik dengan seseorang. Beliau terus berbisik-bisik dengannya hingga para sahabat tertidur. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang dan shalat bersama mereka.”[11]
Qotadah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Anas berkata,
كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلاَ يَتَوَضَّئُونَ قَالَ قُلْتُ سَمِعْتَهُ مِنْ أَنَسٍ قَالَ إِى وَاللَّهِ. 
Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ketiduran kemudian mereka pun melakukan shalat, tanpa berwudhu lagi.” Ada yang mengatakan, “Benarkah engkau mendengar hal ini dari Anas?” Qotadah, “Iya betul. Demi Allah.”[12]
Pembatal keempat: Hilangnya akal karena mabuk, pingsan dan gila. Ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama). Hilang kesadaran pada kondisi semacam ini tentu lebih parah dari tidur.[13]
Pembatal kelima: Memakan daging unta.
Dalilnya adalah hadist dari Jabir bin Samuroh,
أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ قَالَ « إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَوَضَّأْ ». قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ قَالَ « نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ ». 
“Ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah aku mesti berwudhu setelah memakan  daging kambing?” Beliau bersabda, “Jika engkau mau, berwudhulah. Namun jika enggan, maka tidak mengapa engkau tidak berwudhu.” Orang tadi bertanya lagi, “ Apakah seseorang mesti berwudhu setelah memakan daging unta?” Beliau bersabda, “Iya, engkau harus berwudhu setelah memakan daging unta.”[14]
Demikian pembahasan mengenai pembatal wudhu. Sebagian lainnya adalah pembatal wudhu yang masih diperselisihkan di antara para ulama. Insya Allah sebagian lainnya yang dianggap sebagai pembatal wudhu akan kami kupas dalam artikel selanjutnya. Semoga bermanfaat.
 ------------------------------------------------------------------------------------------
[1] QS. Al Maidah: 6
[2] Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 2/244, Asy Syamilah
[3] Lihat Al Mugni, Ibnu Qudamah, Al Maqdisi, 1/195, Darul Fikri, Beirut.
[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 1/127, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[5] HR. Bukhari no. 135.
[6] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/128.
[7] Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 5/383, pertanyaan kedua dari fatwa no.4262, Mawqi’ Al Ifta’.
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/128.
[9] HR. Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303.
[10] HR. Al Baihaqi no. 771. Syaikh Abu Malik -penulis Shahih Fiqh Sunnah- mengatakan bahwa sanad riwayat inishahih.
[11] HR. Muslim no. 376.
[12] HR. Muslim no. 376.
[13] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/133.
[14] HR. Muslim no. 360.